10
HARI LAGI AKU NIKAH
Sepuluh
hari lagi aku akan menikah, menikah sama cowok yang belum aku kenal yang
bernama Arbiansyah. Anak teman Ayah
waktu SMA dulu, mereka pernah berjanji kalau punya anak laki –laki dan
perempuan akan berbesanan.Omong kosong! semuanya cerita lama.
Aku
udah berusaha dengan seribu alasan
menolak rencana pernikahan ini. Dari Alasan aku belum mau married sampai
alasan tunggu sampai aku wisuda aja nggak diterima. Alasan aku selesaikan skripsi dulu juga di tolak. Ayah tetap dengan janjinya
dengan keluarga firmansyah untuk jadi besannya.
Ayah ingin awal bulan besok kami menikah . Dan awal bulan
itu sepuluh hari lagi.
Dan
aku yakin Abi pun sama denganku menolak perjodohan ini buktinya saat kami
bertemu, dia hanya bersalaman dan
menyebutkan nama saja. setelah itu kami tak pernah lagi bertemu padahal udah hampir
seminggu dari kami dipertemukan. Telpon
atau sms sekedar menanyakan kabar, tidak
ada . Pertama kali bertemu sikapnya kaku dan dingin kayak es
Yang
aku tau Abi menyetujui pernikahan ini karena dia ingin melanjutkan S3 nya di
Ausi. Dan mamanya nggak ingin Abi punya pacar bule. Ah merananya aku baru nikah
udah ditinggal pergi
Sekarang
keluargaku dan keluarga Abi yang sibuk ngurusin semua perlengkapan pernikahan
dari pesan undangan sampai pesan catering dan gedung.
Sementara
aku sibuk sendiri dengan skipsiku yang harus segera selesai bulan depan. Dan Aku tak tau apa yang sedang Abi
sibukkan.
Tiba
– tiba pintu di ketuk dari luar, Kak Gilang melongok dari balik pintu.“Kata Bunda undangan
udah selesai , catat siapa temanmu yang
mau di undang.” Katanya sambil nyenyir.
“ Aku
nggak ngundang siapapun.” Jawabku ketus.
“
kok gitu.” Kak Gilang pura – pura kaget padahal dia tau kalo aku ogah ngundang
teman – temanku.
“ Aku
nggak mau semua temanku tau kalo aku akan nikah.”
“ ya.
terserah kamu lah”
Kak
Gilang keluar kamar nggak banyak komentar karena dia tau betapa gencarnya aku
menolak perjodohan ini.
Tiba
– tiba bunda dah nongol di balik pintu.
“Cha,
ini undangannya udah jadi.” Bunda menyodorkan undangannya pada ku. Aku pura –
pura nggak dengar.
“ Kata
kak Gilang kamu nggak mau ngundang teman – temanmu, kenapa?”
Aku diam , nggak menjawab.
“ Pernikahan
itu sipatnya sakral loh , Cha. Orang lain harus tau kalo kamu mau nikah , kalo
tidak, bisa – bisa menjadi fitnah.” Bunda mulai membuka cerahmahnya lagi soal
pernikahan.
“Tapi
Icha malu Bun! Teman kuliah Icha belum ada yang nikah.” Aku merubah posisi
dudukku.” Apalagi nikahnya pake acara di jodohin segala.”
“Perjodohan
itu bukan sesuatu yang memalukan, karena
salah satu kewajiban orang tua, untuk mencarikan pasangan hidup
anaknya.”
“Ah..
Bunda, ada aja alasannya.” Ujarku nggak percaya, itu hanya alasan Bunda aja
untuk meyakinkan aku.
“ Loh,
iya. Bunda pernah baca di buku.” Kata bunda lagi
“ Nggak
tau ah, Bun! Pusing.” Aku beranjak keluar kamar.
“ Biar
Bunda aja yah, yang undang teman – temanmu.” Teriak Bunda dari kamar.
Wah
bahaya nih, kalo Bunda yang tulis undangannya bisa – bisa semua teman kampus Bunda
undang.
“ Jangan
Bun, biar nanti Icha aja yang tulis untuk teman – teman Icha.” Teriakku lari kembali kekamar. Lalu kerebut undangan
dari tangan Bunda.
“Dan
itu tugas kamu dan Abi untuk mengantar undangan – undangan itu.” Kata Bunda
sambil melengos keluar.
“
Apa” kataku kaget. “ Bundaaaaaaaa” teriakku.
Hari
Ini tugasku dimulai untuk mengantar undangan. Dalam hati aku benar – benar
enggan untuk melakukan ini. Tapi bunda
mengancam kalo aku ga mau Bunda mau mengundang semua temen kampus. Aku ga mau
dong julukanku sebagai jomblo sejati pupus.Apa lagi mengantarnya harus bare
Abi. Lihat mukanya aja aku udah enggan. Kaku.
Suara
klakson avanza Abi terdengar dari
halaman parkir. Abi sudah menunggu dari setengah jam yang lalu. Sebenarnya aku
sengaja mengulur waktu, sekalian ngerjain patung jendral Sudirman Itu julukan
ku buat si kaku dan si dingin Abi.
Suara
klakson terdengar lagi. “ Iya tunggu bentar lagi.” Teriakku dari jendela kamar
yang berada di lantai atas. Aku cepat berlari turun menghampiri Abi.
“Gak
sabaran banget sih.” Kataku ketus.
“
Kamu yang kelamaan” jawabnya dingin.”Waktu sangat berharga bagiku walaupun
hanya satu menit.” Lanjutnya.
Mendengar
ucapanya, Iiiiiih, Pengen rasanya
menjitak kepala tuh orang. Belagu banget.
“Mana
kunci motormu” Tanya Abi.
Ditanya
gitu aku sedikit kaget.” Buat apa?”
“Kita
nganternya pake motor aja biar cepet.” Katanya tanpa ekspresi.
“Baiklah”
aku mengeluarkan kunci motor Mio ku dari dalam tas.
Eh,
tunggu kalo naik motor berarti aku harus deket – deket sama dia dong. Ih ogah,
kataku dalam hati.
Klakson
motor mengagetkanku.”Bukannya cepet naik
malah melamun” kata Abi ketus.
“ sabar
sedikit kenapa sih!”
Aku
naik ke motor di belakang Abi. Ku letakkan tas di tengah – tengah sebagai
penghalang. Abi mulai menjalankan motor
mioku.
“
Kita mulai dari yang terdekat.” Kata Abi suaranya terbawa angin.
“Iya.”
Setelah
itu selama dalam perjalanan kami sama – sama diam. Sesekali Dia Hanya bertanya
soal arah tempat teman – teman mama
tinggal, selebihnya abi menuju kerumah teman- teman Arbi.
Dalam
hati aku berpikir, Aneh, aku yang mau nikah , aku juga yang harus repot nganter
undangan. Biasanya kan Orang lain.
“Cepet keluar, Abi nunggu tuh” kata
Bunda sambil menarik tanganku.
“ Mo
apa lagi? kan undangan udah selesai” ujarku sambil melepaskan tanganku.
“Hari
ini kamu harus ke butik langganan mama untuk nyoba baju pengantin kamu.”
“Apa?” Aku kaget.” Aduh Bunda kenapa ga bilang dari
kemarin, hari ini aku mau ke perpustakaan daerah nyari buku buat bahan
skripsi.” Kataku kesal.
“
itu bisa nanti pulang dari butik.”
“Tapi
Bunda… ini hari sabtu, Perpustakaannya buka hanya setengah hari.”
“Kalo
gitu ke perpus dulu baru ke butik.” Ujar Bunda.
“Kenapa
ga besok aja sih.”
“Ga bisa,
waktunya tinggal 6 hari lagi.” Kata Bunda sambil menarik tanganku.
Ya
Allah sudah berlalu 4 hari. Sialnya lagi
hari ini aku harus bersama patung sudirman lagi seharian. Mimpi apa aku
semalam.
Kulihat
Abi sedang membaca Koran di teras depan. Aku berdiri dihadapan di dengan
perasaan kesal. Melihat aku ada di hadapanya di menutup Koran yang dibacanya.
“Udah Siap?” Tanya dia dengan expresi seperti
biasa.
Tanpa
menjawab pertanyaannya aku masuk ke dalam mobil avanza dia. Abi pamit sama
Bunda lalu masuk kedalam mobil dan duduk di belakang setir. Dan keluar dari
halaman rumah ku.
Di perjalannan aku hanya pasang muka cemberut.
“Aku
ga mau menikahhhhh” teriakKu tiba – tiba . Abi kaget dengan Teriakkanku.
“
Hidup ku terasa kacau gara – gara pernikahan ini.”kataku lagi “semua
aktifitasku jadi berantakan. Semua teman – temanku menjauh, skripsiku belum
selesai semua karena pernikahan ini. Aku gak mau menikah.”
Arbi
Hanya diam mendengar aku hanya marah – marah seperti itu. Sepertinya dia kaget
juga. Mungkin dia tidak menduga aku akan ngamuk – ngamuk seperti ini.
“
Ditambah lagi aku harus deket – deket sama kamu, yang selalu ketus, selalu
bersikap dingin dan kaku. Kenapa sih
kita gak membuang undangan – undangan itu kemarin, biar pernikahan ini
batal.”lanjut ku menatap kearah Abi. Tiba – tiba Air mataku menetes, aku nangis.
Aku
menutup wajahku dengan telapak tangan, tapi air mata ini terus mengalir dari
mataku. Abi hanya diam saja melihatku seperti itu.
Tiba
– tiba dia mengentikan mobilnya.
“
Ok….., kamu mau pernikahan ini batal?” Tanya Abi. “Kalo gitu tenangkan dulu
perasaan kamu, baru nanti kita bicara.” Lanjutnya. Dia mengambil air mineral
yang ada di jok belakang dan menyodorkan padaku.
Tapi
aku hanya diam saja. Sambil terus menangis. Lalu Abi pun ikut diam .Mungkin Dia
bingung apa yang harus dilakukannya melihatku menangis.
Tangisku
mulai mereda, Abi menyodorkan tissue. Aku menyusut semua sisa tangisku. Ku lihat jam di pergelangan tanganku.
“Antar
aku ke perputakaan Daerah.” Kataku.
“Baiklah.
Tapi kamu harus minum dulu, agar perasaanmu lebih tenang.”Kata abi Sambil
mencoba menyodorkan air mineral lagi padaku.
Ya
Tuhan, kenapa suara abi berubah, tidak ketus seperti biasanya, suaranya sedikit
lembut. Apa dia merasa bersalah. Apa yang sudah aku lakukan tadi.
Melihatku
sudah tenang abi melanjutkan mobilnya menuju perpustakaan daerah.
Sudah
dua hari sejak kejadian aku nangis di mobil aku gak melihat Abi datang kerumah.
Mungkin dia sakit hati dengan kata- kataku waktu itu.
Yang
terniang kata – kata dia sebelum pulang
setelah mengantar aku dari perpus. “
Maapkan aku jika aku tidak bersikap baik kepadamu selama 4 hari ini.”
Ya
Tuhan aku telah menyinggung perasaannya waktu aku menangis.
Ada
perasaan menyesal dalam lubuk hatiku. Tapi aku tak berani bertanya kepada Bunda
mengenai dia. Aku takut Bunda Sudah tau kejadian dua hari yang lalu. Karena ku
lihat sikap Bunda pun sedikit berubah.
Kalo
aku mau jujur sebenarnya dia sangat baik, mau menolongku mencarikan buku di
perpus, mau pengantarku ketemu dosen pembimbing saat pulang mengantar undangan,
dan mau membantuku membuatkan skripsi.
Sikap kakunya itu mungkin sudah
jadi watak dia. Justru aku yang selalu marah – marah sama dia.
Ku
hampiri Bunda dan Kak Gilang yang sedang menonton TV. Mereka sepertinya sedang serius menonton. Tak
menghiraukan aku yang hadir diantara mereka. Tapi sepertinya Bunda sedang
melamun.
“Bun…”aku
duduk di sampinya. Tapi sepertinya Bunda tak menyadari kehadiranku. “ Bunda…”
panggilku sekali lagi.
“
Iya Cha…” suara bunda kaget” Ada apa?”
“Abi
kemana? Dua hari ini dia tidak datang?”
“Bunda
ga tau” jawab bunda ada rasa sedih di balik jawabanya.
“Dia
janji mau ke butik nyoba baju pengantin.” Lanjutku. “ waktu itu tidak jadi
karena dia nganter Icha ke perpus”
Bunda
tidak menjawab lalu beranjak pergi. Aku hanya terheran – heran tak mengerti.
“
Kak Gilang, Kenapa dengan Bunda?”
“Bunda
sedih karena Abi pergi …”jawab Kak Gilang.
“
Kemana?” tanyaku
“Ga
ad yang tau.”
“Apa!”
aku seperti tersambar petir mendengar jawaban Kak Gilang.
Kenapa
Abi pergi? Apa dia benar – benar tersinggung dengan perkataan aku waktu itu.
Ada perasaan sakit mendengarnya. Aku lari kekamar dan menangis.
Hari
ini aku mau ketemu dosen pembimbingku di rumahnya. Aku harus sendirian, Rere nggak bisa mengantar aku karena dia sama harus ketemu dosen. Kalo ada abi mungkin dia mau mengantar. Tapi
dia entah dimana padahal acara pernikahan tinggal 3 hari lagi.
Dua
jam menunggu baru bisa ketemu dosen
pembimbingku karena dia baru pulang dari luar kota.
Setelah
selesai berbincang – bincang beliau menjelaskan apa yang seharusnya aku kerjakan.
Aku pamit pulang.
Setengah
6 sore aku pamit pulang dari rumah dosen
kayaknya sore ini akan hujan. kulihat awan
hitam bergelayut di atas kepala ku. Angin berhembus sangat kencang. Tiba- tiba
kilatan petir menyambar di depan ku diikuti suara ledakan Guntur.
Membuat
ku bergidik takut. Ku percepat langkah ku menuju jalan raya karena dari rumah
dosenku ke jalan kira – kira ada 100 m.
Ya
Allah. Kilatan petir terus berkelabat di depan ku, dan akhirnya hujan turun
dengan derasnya.
Aku
berteduh di depan toko makanan sekalian
cari makanan ringan untuk isi perut yang belum di isi dari tadi siang.
Dering
hpku berbunyi . Bunda yang telpon, pasti kawatir banget karena aku belum
pulang. Apalagi hujan deras gini. Kebetulan aku mau minta di jemput aja sama
mang ujang.
“Halo
Bunda, aku ……” tiba tiba hpku mati batrenya lemah.
Ya
Allah gimana nih hari mulai gelap, udah
satu jam aku berteduh di sini, hujan belum juga berhenti . mana nggak
ada taxi ataupun angkot yang lewat.
Pemiliki
toko beberapa kali menawarkan aku untuk tunggu di dalam, tapi aku menolak.
Aku
celingukan , mencoba mencari taxi atau angkot dari balik hujan deras tapi tak
kunjung ada yang lewat.
Aku
mulai cemas gimana nih kalo hujannya gak berhenti. Saat celingukan gitu sekilas
aku melihat counter pulsa di seberang jalan.
Siapa
tau aku boleh meminjam cargernya.
Tanpa
pikir panjang aku pamit sama yang punya toko dan lari menembus hujan,
menyebrang jalan menuju counter pulsa.
Yang
punya counter menyambutku dengan senyum, mungkin dia pikir aku akan beli pulsa.
“Mbak
boleh minta tolong gak?” kataku dengan hati – hati.
“ Iya
kenapa neng?” jawab pemilik counter itu
ramah.
“ Saya
mau pinjam cargernya mbak. Mau telepon kerumah tapi hpnya robet.”
Setelah
terisi penuh, ku hidupkan HP ku. Dan kuberikan uang lima ribu pada pemilik counter.
Kulihat
di layar hpku panggilan tak terjawab 3kali dari Abi.
Hah,
Arbi. Ku pencet no Hp Abi.
Terdengar
suara nada tunggu
“ Halo
… Icha yah?” terdengar suara Abi di sebarang sana.” Icha kamu dimana .”
“ A….bi,…..”
Aku sepertinya kikuk nih. Kenapa jantungku jadi deg –degan gini.
“ Cha,
kamu ada dimana kok belum pulang.” Tanya Abi lagi.
Kok
Abi tau kalo aku belum pulang” masih di jalan,
Bi. nunggu angkot. Mana hujah gede lagi.”
“ Iya
tapi kamu ada dimana.”
Ku
sebutkan posisiku ada dimana
“ yah udah tunggu aku lima belas menit lagi yah.”
Kata Abi.
Hah,
lima belas menit lagi. Emang dia ada dimana, Pikirku. Kalo dia ada dirumahnya
nggak mungkin dalam waktu lima belas menit dia sampai disini.
Abi
menutup teleponnya.
Tiba
- tiba Bunda telpon suaranya benar- benar cemas, anak gadisnya belum pulang,
mana 3 hari lagi mau nikah. Papa juga
telepon, kak Gilang, temen kampus yang
mungkin di hubungi Bunda, selama nunggu Abi ada mungkin tujuh orang yang
nelpon. Mereka bisa tenang, karena aku bilang aku di jemput Abi.
Sebuah
mobil avanza berhenti tepat di depan counter hp tempat aku berteduh. Seseorang
keluar dari dalam mobil sambil membawa payung
Ternyata
Abi dia berjalan ke arahku. Ya tuhan jantungku berdebar – debar. Ada apa nih?
Ada perasaaan senang begitu aku melihatnya.
Dia
tersenyum. Manis juga senyumnya. Belum pernah aku melihatnya tersenyum.
“
Cha, nggak kelamaan kan nunggunya?” sapa Abi “yu, pulang semua cemas nunggu
kamu.” Abi mengemgam tanganku. Jantungku semakin berdebar kencang.
Aku
pamit sama yang punya counter, lalu masuk ke mobil Abi.
Aku
mencoba menenangkan perasaan aku yang tak menentu. Takut ketauan Abi kalo aku
benar- benar merindukan dan mencemaskannya selama 4 hari ini.
Dalam
hati aku masih penasaran. Dalam lima
belas menit kok Abi dah nongol didepanku.
Aku
beranikan diri tuk nanya sama dia. Dari pada mati penasaran.
“Bi….”
Kataku memecah kebisuan.”tadi kamu nggak langsung dari rumahkan?”
Abi
menoleh padaku,lalu konsentrasi lagi mengemudi.
“Emangnya
kenapa?”
“Soalnya
gak mungkin kan kamu sampai secepat itu.”
“Iya,
aku emang udah ada di sekitar tempat
yang kamu katakan” kata Abi
“
Emang kamu ngapain di daerah itu.” Tanyaku heran
“
nyari kamu”
“
nyari aku.” Aku baru ingat tadi Rere bilang ada cowok nanyain, Kemana aku
pergi.
Rere
bilang kayaknya cowok itu kawatir banget sama aku. Jangan – jangan itu Abi. kalo
kak Gilang gak mungkin. Rere kenal sama
dia kok.
“ Ngelamun?
kenapa.?” Abi ngagetin aku. “Tadi Bundamu telpon nanyain kamu, Bunda kelihatan
kawatir banget. Ayahmu, Gilang juga. Soalnya kamu udah 2 hari nangis terus.
Mereka takut kalo kamu kabur dari rumah.”Kata Abi sambil senyum – senyum. “Aku
coba menghubungi no hp teman – temanmu
yang diberikan Bundamu, ternyata cuma Rere yang tau kamu pergi kemana. Yah udah
aku langsung cabut nyari kamu.”
Ya
Tuhan Segitu kwatirnya orang –orang sama aku.
“Aku
takut terjadi apa – apa sama calon istriku.” Lanjut Abi dan aku kaget
dengernya.
Tapi
ada rasa senang denger Abi bilang calon Istri. Abi ternyata tidak seperti yang
aku bayangkan.
“Makasih
yah!” kataku. Abi menoleh padaku. Jantungku berdetak kencang saat kami
berpandangan.
Cepat
– cepat ku palingkan lagi pandanganku kejalan raya. Beberapa saat kami sama –
sama terdiam.
“Boleh
Tanya sesuatu Bi,” tanyaku ragu – ragu . Abi mengangguk “kata Kak Gilang kamu
pergi tanpa pamit, kemana?
Ditanya
gitu abi malah tersenyum. “Ada di Rumah”
“Semua
orang mencari kamu,Bi “
“Ga
ada yang mencari Aku kecuali kamu.” Kata Abi senyum – senyum. “ Sampai nangis –
nangis lagi.”
Ya
Tuhan , kok dia tau sih aku nangis karena ga ketemu dia.
“
Kata siapa aku nangis karena kamu pergi” kataku mengelak
“Bunda”
“ Bunda tau kamu ga pergi?”
Abi
menggangguk.”Justru itu ide Bundamu”
“Apa?”
aku kaget mendengarnya.
“Sepulang
dari ngantar kamu ke perpus aku ngobrol sama Mama untuk membatalkan pernikahan
kita. Terus Mama bilang sama Bundamu.Bundamu yang punya Ide untuk mengatakan
bahwa aku pergi. Dia Cuma ingin tau reaksi kamu. Ternyata benar kata Bunda.
Kalo aku akan mendapatkan jawabanya.”
“Jawaban
Apa?”
“Rahasia
Dong”
Aku
ga berani memaksa. Yang aku pikirkan
kenapa sih aku bisa sebodoh itu. Bias- bisanya
di bohongin sama Bunda.
“ Abi…..kok
Kamu mau sih dijodohin sama aku.”
Abi
tersenyum mendengar pertanyaanku
“ Alasan
mama kamu kan, Cuma takut nanti di Ausi
kamu punya pacar bule.”
Abi
tersenyum lagi.
“Kan
bisa nyari selain aku”
Aku
jadi kesal lihat Abi Cuma senyum – senyum Aja, bukannya menjawab.
“kamu
kok cuma senyum – senyum aja sih, bukannya di jawab.”
Senyum
Abi makin lebar lihat aku agak kesel. “Bukan itu alasan sebenarnya.”
“Bukan
itu,… trus apa?”
“
Karena aku hanya jatuh cinta sama kamu. Aku takut kamu punya pacar saat aku
pulang dari Ausi., takut kehilangan kamu.”
Abi
ngomongnya gombal nih. Aku diam sedikit bingung.
“Tapi
Bi, menurutku buat apa kita nikah, kalo udah nikah kita berjauhan. Itu sama aja
kan ……!”
“Oh
jadi kamu nggak mau jauh jauh dari aku.”
Kata Abi tersenyum menggoda.
Aduh,
aku salah ngomong nih.
“ Bukan
, bukan gitu. Maksudku itu sama aja kan kayak belum nikah, bisa nyari pacar
gitu loh.”
“ Ya
nggak dong, kalo ada yang naksir sama kamu, kan ada aku suaminya.”
Lagian
siapa yang mau ninggalin kamu di sini. Aku akan ngajak kamu ke Ausi kok.”
Ya Tuhan,
aku kaget banget dengarnya.
“
Aku nggak mau jauh – jauh dari Istriku.” Kata Abi sambil menghentikan mobilnya,
udah sampai di depan rumahku.
Abi
kok ngomongnya jadi gombal terus.
“
Kamu mau kan jadi istriku,” di Tanya gitu aku jadi gugup” nungguin aku pulang
kuliah, menyediakan makan pas aku lapar, dan mencintai aku sepenuh hati kamu.”
Abi
menatap mataku dalam – dalam sepertinya dia mencari jawaban di sana.
Ya Tuhan.
Rasanya aku ingin pergi saja. Untuk menenangkan debaran gantung ini yang
semakin kencang.
“ Gak
usah dijawab, karna aku tau jawabannya.
Kalo kamu sebenarnya mau jadi istri aku.”kata
Abi sambil memandungku penuh arti.
“Bundamu bilang aku cowok pertama yang membuatmu jatuh
cinta.”
Bundaaaaaaaaaa.
Teriakku dalam hati.
Abi membuka pintu mobil.” Ayo turun semua nunggu
kamu.”
Ya
Tuhan aku tak bisa mengontrol debar jantungku. Bunda benar hanya Abi yang bisa
membuat aku jatuh cinta.
Abi
menggenggam tanganku dengan erat saat menghampiri Bunda , Ayah, Kak Gilang dan
orang Tua Abi menunggu di halaman depan.
SELESAI